Senin, 04 November 2013

“BUNYI, IRAMA, DAN RIMA DALAM MEMBACA PUISI”



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Orkestrasi puisi
Orkestrasi puisi adalah bunyi musik dalam puisi, pada dasarnya aspek orkestrasi merupakan salah satu unsur yang dapat di manfaatkan untuk memperdalam arti, memperjelas tanggapan, memperdalam perasaan, dan merangsang tumbuhnya respon psikologis yang menimbulkan rasa dan suasana tertentu. Potensi demikian oleh para penyair aliran romantis, yang timbul sekitar abad kedelapan belas di Eropa Barat, digunakan dalam membangun sebuah puisi, yaitu lebih mengutamakan simbol bunyi daripada makna katanya (Slametmuljana, 1956:56).
Aliran simbolis yang dipelopori oleh Charles Boudelaire muncul sekitar abad kesembilan belas (1821 - 1896). Salah seorang pengikut aliran simbolis, Paul Verlaine (1844 - 1896) mengungkapkan bahwa musiklah yang paling utama dalam puisi. Penyair-penyair beraliran romantis dan simbolis selalu berusaha membangun puisi yang mendekati musik, yaitu puisi yang merdu bunyinya dan berirama kuat. Mereka mengubah kata menjadi gaya suara.
Dengan demikian,  jelaslah sudah bahwa orkestrasi puisi ialah susunan bunyi yang indah, dan dapat menimbulkan rasa, bayangan yang jelas, serta suasana khusus tertentu, meskipun demikian orkestrasi puisi tetap berbeda dengan musik, sebab bunyi kata tidak  sanggup menjilmakan perasaan girang, sedih, gundah, murung sekuat musik. Bunyi kata hanya dapat di gunakan untuk memberi sugesti tentang suasana riang dan sedih bunyi kata lepas dari artinya tidak dapat memberikan suasana sedih dan gembira seperti suara musik  


                                                                                               


2.2  Kiasan bunyi dan rima
Bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia, dalam puisi di manfaatkan untuk peniruan bunyi onomatope, lambang bunyi (klanksymboliek) dan kiasan bunyi (klankmetaphor).
2.2.1        Onomatope
Onomatope berarti tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada (Waluyo, 1991:90). Dalam puisi peniru bunyi memberikan saran tentang suara sebenarnya (Pradopo, 1987:32). Di samping itu onomatope di pilih oleh penyair dengan harapan dapat memberikan warna suasana tertentu seperti yang diharapkan penyair. Efek yang dihasilkan onomatope akan kuat terutama jika  puisi tersebut dioralkan (waluyo, 1991:90)

2.2.2        Lambang bunyi
Lambang bunyi ialah bunyi yang di hubungkan dengan suasana hati  (Slametmuljana, 1956:72). Bunyi yang melambangkan sesuatu ini disebut klanksymboliek. Suasana hati yang riang, senang dilukiskan dengan bunyi vokal i, a-i, u-i, bunyi konsonan k, p,t, s dan f, sedang diftong ai, au dan ia melambangkan suasana hati yang damai.
Konsonan b, d, g, z, v, w terasa berat , sedang bunyi vokal a, o, dan u terasa berat dan rendah , melambangkan perasaan sedih, gundah, murung, dan sebagainya. Di samping itu bait-bait puisi yang mengandung bunyi i yang dominan, menurut Pradopo (1987:34) memberikan suasana girang, kasih, ataupun kesucian. Demikian juga dengan bunyi a dan u yang dominan memberi kesan suasana berat dan sedih.





2.2.3        Kiasan bunyi dan rima
Kiasan bunyi adalah adalah suasana tertentu yang di kiaskan dengan bunyi-bunyi tertentu atau bunyi-bunyi yang mirip dengan bunyi tiruan (onomatope). Jika dalam onomatope dan lambang bunyi, antara bunyi dan acuannya memiliki hubungan yang mengacu secara langsung, pada kiasan bunyi, bunyi yang memiliki acuan langsung tersebut dikiaskan dengan bunyi lain  yang mirip dengan bunyi tersebut untuk menggambarkan acuan yang sama. Pendek kata, pada kiasan bunyi, antara bunyi dan acuannya tidak memiliki hubungan langsung.  Bentuk rima yang sering digunakan oleh penyair dalam membangun puisi ada bermacam-macam, yaitu aliterasi, asonansi, rima akhir dan sebagainya berikut akan di jelaskan;
1.      Aliterasi
Aliterasi ialah pengulangan bunyi-bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan. Aliterasi berfungsi mendekatkan kata-kata lepas dari hubungan semantik biasa (van luxamberg, 1989:196). Selain itu, aliterasi menekankan struktur ritmik sebuah larik dan memberi tekanan tambahan pada kata-kata yang bersangkutan.

2.      Asonansi
Asonansi ialah pengulangan bunyi vokal dalam kata. Asonansi bersama-sama dengan aliterasi sering dipergunakan dalam lambang bunyi dan digunakan untuk menimbulkan kesan dan bayangan tertentu, selain untuk kepentingan orkestrasi dan memperlancar ucapan.

3.      Rima akhir
Rima akhir ialah persamaan bunyi yang terdapat pada setiap akhir baris. Rima akhir ini dalam pengertian lama disebut sebagai sajak. Rima akhir akan memiliki nilai puitis jika di dalamnya memiliki daya yang kuat untuk menimbulkan pengertian atau suasana tertentu dan hakikat puisi.
Sebuah teks puisi biasanya dibagi menurut bait-bait dengan jumlah bait yang tetap. Fungsi bait ialah membagi teks atas “bab-bab” pendek. Persamaan bunyi pada akhir setiap baris yang memola pada setiap bait membantu mempertegas atau memperkuat susunan tematik sebuah puisi di samping berfungsi untuk menghubungkan antara baris satu dengan baris lainya dalam satu bait.  

2.3  Irama puisi
Dalam puisi, selaim masalah orkestrasi puisi, kiasan bunyi, dan rima, masalah lain yang tak kalah pentingnya dengan masalah-masalah yang telah di bicarakan sebelumnya, terutama yang menyangkut masalah bunyi, yaitu irama. Sebetulnya irama dalam puisi hampir sama dengan irama dalam musik, karena keduanya di tentukan oleh ukuran waktu atau tempo. Perbedaannya, jika dalam musik ukuran tempo itu betul-betul bisa mandiri, dalam puisi ukuran tempo tergantung dari banyaknya bunyi suku katabaik pada kata, frase, maupun kalimat dalam setiap baris.
Secara umum, irama sering disamakan dengan rhytm (inggris), rhytme (perancis), kata tersebut berasal dari bahasa Yunani reo, yang berarti gerakan air yang mengalir secara teratur, terus menerus, tidak putus-putus (Pradopo, 1987: 40). Dalam KBBI (1990:38), irama diartikan sebagai alunan yang terjadi karena perulangan dan pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek bunyi. Jadi, dapat kita ketahui bahwa irama memiliki perulangan bunyi, pergantian kesatuan bunyi dalam arus panjang pendek, dan memiliki keteraturan. Ketiga ciri tersebut pada akhirnya membentuk alunan merdu, imdah, enak didengar dan menimbulkan suasana tertentu.
Menurut pradopo (1990:40) ada dua macam bentuk irama, yaitu ritme dan metrum. Ritme adalah pengulangan bunyi baik pada kata, frase, maupun kalimat yang teratur, terus menerus, dan tidak putus-putus, bagaikan air yang mengalir terus menerus. Ritme di bentuk dengan cara mempertentangkan  atau mengganti bunyi tinggi-rendah, panjanag-pendek, keras-lemah